Pendidikan dimasa liberalisasi ini melahirkan tindakan-tindakan instan
yang reaksioner, yang justru dilakukan oleh staf pengajar di
universitas. Gaya mengajar yang kuno (tidak sesuai tuntutan kompetensi),
jarang mengajar (dengan alibi memakai pendeka
Tidak seperti biasanya, pagi hari itu, menjelang pukul 08.00 wib, ruang
administrasi sebuah fakultas terlihat penuh oleh dosen. Tak perlu heran,
hari itu adalah awal ujian semester. Dan tentu saja, para dosen itu,
datang pagi-pagi bukan untuk memberi kuliah namun untuk mengawasi
pelaksanaan ujian. “Jaga ujianâ€, demikianlah teriak mereka bahagia.
Bahagia? Jelas!, jaga ujian berarti uang tambahan. Dan itu artinya harus
bergegas untuk datang tepat waktu atau kalau tidak, posisi mereka akan
digantikan orang lain. Terlebih hal itu sudah diatur dalam tata tertib
pengawas ujian. Artinya, uang melayang. Sayang, kan?
Episode berganti. Di sebuah ruangan ujian, seorang muda membacakan
dengan keras tata tertib peserta ujian dan diakhiri dengan perintah
kepada para peserta untuk menaruh tas/barang bawaan di depan kelas.
Pembacaan tata tertib ternyata sudah disepakati saat rapat panitia
pelaksana ujian. Apa lacur? Tak ada yang melakukannya kecuali dia
seorang. Ujian tahun ini diniatkan sebagai perbaikan sistem ujian yang
bermuara pada perbaikan kualitas mahasiswa. Yang diincar adalah syahwat
menyontek mahasiswa. Mahfum kita sadari bahwa nafsu menyontek dicurigai
sebagai embrio korupsi, kolusi dan segala hal yang kelak akan menambah
porak poranda negara ini.
Pada ujian kali ini, konsepnya adalah memperketat pengawasan ujian. Tak
pelak, semestinya konsep pelaksanaan ujian kali ini mendapat sambutan
hangat. Semestinya segenap gugus pengawas tidak bersikap sama seperti
pelaksanaan waktu-waktu sebelumnya. “Kita harus bangun dari tidur,
kawan. Sekarang waktunya bekerjaâ€, demikianlah seruan Napoleon
Bonaparte saat ia memimpin Perancis yang baru. “Bangsa Amerika adalah
kumpulan orang-orang yang bekerja keras melebihi moyangnya di Eropaâ€,
demikianlah kata John Adams, salah seorang pendiri Amerika. Sekarang
kita menyaksikan hasil kerja keras mereka. Perancis menjadi negara maju
dan mapan begitu pula halnya dengan Amerika.
Perubahan selalu mengagetkan. Jangankan yang bersifat massal, yang
bersifat individualpun tetaplah tak mengenakkan. Marilah kita toleh
paparan berikut ini.
Ujian adalah ajang untuk membuktikan sejauhmana sang anak didik menyerap
dan memahami pelajaran yang selama ini disampaikan oleh pengajar. Ujian
bisa berbentuk tertulis dan atau lisan. Di progdi tempat penulis
mengabdi, nampaknya, hanya matakuliah Speaking yang diyakini cocok
dengan model ujian lisan. Sisanya, dalam bentuk ujian tertulis. Tentu
saja, bukankah Speaking berarti “berbicara†dalam bahasa kita.
“Capek dan kayak ga mungkin kalo harus lisanâ€, demikian komentar
yang muncul searah dengan pertanyaan penulis atas kemungkinan ujian
lisan bagi beberapa matakuliah non-Speaking. Jawaban tersebut sebenarnya
absurd.
Ujian tertulis menuai konsekuensi logis, yakni memeriksa hasil test atau
yang biasa dikenal dengan sebutan mengoreksi. Lalu tidakkah capek juga
kalau harus mengoreksi puluhan kertas jawaban terutama jika itu esai?
Jangan – jangan tidak dikoreksi.? Lalu jika demikian, dari mana
datangnya nilai? Abrakadabra-kah? Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
mengajak para pendidik beramai-ramai melakukan bentuk tes lisan. Test
tertulis-pun tetap memiliki unsur ke-valid-annya. Namun jangan
“capek†dijadikan rujukan, sebab hal itu tidak akan membuat kita
maju. Jangan takut capek, jangan ragu untuk bergerak. Berubah memang
tidak enak. Tapi sabarlah, kawan. Perancis bisa maju, Jerman bisa
bangkit, Jepang mampu menggeliat, lalu kita?
Pemerintah nampaknya menangkap kegelisahan ini. Dengan paket
kebijakannya yang baru, melalui Departemen Pendidikan, pemerintah
mengeluarkan aturan sertifikasi guru dan dosen. Tujuannya jelas.
Perbaikan taraf hidup bagi kaum pendidik Indonesia. Melalui mekanisme
tersebut diharapkan, kaum pendidik bisa fokus kepada tugas dan tanggung
jawabnya.
Tapi ini Indonesia. Alih-alih konsentrasi bekerja meningkat, para
pendidik justru terjebak untuk gelisah memikirkan dengan amat sangat,
syarat ikut sertifikasi. Ada yang gelisah karena masa pengabdiannya
belum mencukupi dan ada pula yang gelisah karena gelar master-nya tidak
sejalur, kadang ada juga yang bernafsu untuk menambah jumlah jam
mengajar sekedar untuk memenuhi syarat ikut sertifikasi, dll.
Akhirnya terciptalah iklim kompetisi. Tapi bukan berkompetisi tentang
siapa yang terbaik dalam mendidik mahasiswa/i, melainkan berkompetisi
untuk menjadi yang pertama masuk dalam daftar sertifikasi. Runyam!
Tambah runyam lagi jika pemberlakuan sertifikasi menganut sistem kuota.
Jadi segala upaya panik tadi tentulah sia-sia. Runyam karena reaksi
absurd.
Pendidik pastilah kaum yang terdidik. Tugasnya mendidik dan mencerdaskan
masyarakat. Sertifikasi perlu untuk diperjuangkan. Tapi tugas utama
jangan dilupa. Dan kitapun melenggang serta berdendang hymne guru dengan
bangga dan mantap. Karena kita selalu mendidik dengan penuh tanggung
jawab. Penuh tanggung jawab, kawan.
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
...engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa
-Hymne Guru
0 komentar:
Posting Komentar