Tiada hari terlewatkan tanpa membaca surat kabar Indonesia melalui
Internet. Di sana-sini bermunculan berita mengenai rusaknya moral dan
carut marutnya kepribadian masyarakat Indonesia, layaknya sebuah bangsa
yang tidak terdidik. Dan kerusakan ini secara signifikan dan menyeluruh
melanda berbagai golongan masyarakat Indonesia, dari pejabat atas,
menengah sampai rendah, dari anggota DPR sampai menular ke masyarakat
umum. Kemudian kalau kita menyimak berita-berita Internasional, sudah
menjadi hal yang lazim, bahwa Indonesia selalu memenangi kontes-kontes
internasional yang berhubungan dengan sifat buruk. Dari masalah besarnya
jumlah korupsi, pelanggaran HAM, pembajakan software, sampai rendahnya
masalah sumber daya manusia (SDM).
Pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana sebuah
komunitas terdidik (knowledged community) dan beradab itu sebenarnya
bisa terbentuk dari sesuatu hal yang sangat sederhana.
Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya
tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat
dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang
Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah
daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa
implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis
cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari
sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM,
masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.
Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas
adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih memakai
jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan
memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk
menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah
tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis
langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan,
pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di
halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka
berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya
apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi
kesepakatan umum.
Hal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat
“ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti
konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan.
Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang,
penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai
belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik,
ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan
memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum
tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup
pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela
naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih
murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik
densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena
untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah
daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat
menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.
Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin karena boleh dikata
sekarang memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga
bukan bangsa yang tidak sibuk atau lebih punya waktu berhidup ekonomis,
karena mereka bekerja dengan sangat giat bahkan terkenal dengan bangsa
yang gila kerja (workaholic). Tetapi hebatnya mereka tetap memegang
prinsip hidup ekonomis. Ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat
negara-negara berkembang (baca: Indonesia) yang bersifat sangat
konsumtif. Terus terang kita memang sangat malas untuk bersifat
ekonomis. Baru dapat uang sedikit saja sudah siap-siap pergi ke
singapore untuk shopping, atau beli telepon genggam baru.
imigrasi.jpgSifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan
menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya
untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak
mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak
orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan
cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita
bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya
pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai
(maaf).
Kalau moral dan sifat-sifat sederhana dari orang Jepang, seperti malu,
hidup ekonomis, menghormati orang lain sudah sangat jauh melebihi kita,
ditambah dengan majunya perekonomian dan sistem kehidupan. Sekarang
marilah kita bertanya kepada diri kita, hal baik apa yang kira-kira bisa
kita banggakan sebagai bangsa Indonesia kepada mereka ?
Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan tidak mengerti moral. Kita
bisa menyaksikan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar
Jepang, Jerman, Amerika dan di negara -negara lain, banyak sekali yang
berprestasi dan tidak kalah secara ilmu dan kepintaran. Demikian juga
kalau kita bandingkan bagaimana para pengamat dan komentator Indonesia
menguraiakan analisanya di televisi Indonesia. Selama hidup 8 tahun di
Jepang penulis belum pernah menemukan analisa pengamat dan komentator di
televisi Jepang yang lebih hebat analisanya daripada pengamat dan
komentator Indonesia. Dan ini menyeluruh, dari masalah ekonomi, politik,
sistem pemerintahan bahkan sampai masalah sepak bola.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta menunjukkan, secara politik
dan sistem pemerintahan kita tidak lebih stabil daripada Jepang, secara
ekonomi kita jauh dibawah Jepang. Dalam masalah sepakbola juga dalam
waktu singkat Jepang sudah berprestasi menembus 16 besar pada piala
dunia tahun 2002 ini, sementara kita sendiri masih berputar-putar dengan
permasalahan yang tidak mutu, dari masalah wasit, pemain sampai
kisruhnya suporter.
Mengambil pelajaran dari kasus yang telah diuraikan penulis diatas.
Ternyata kepintaran dan kepandaian otak kita adalah tidak cukup untuk
membawa kita menuju suatu komunitas yang terdidik. Justru sikap dan
prinsip hidup yang sebenarnya terlihat sederhana itulah akan secara
silmultan membentuk suatu bangsa menjadi bangsa besar dan berperadaban.
“Knowledge is power, and character is more, but lucky is everything”
0 komentar:
Posting Komentar